Dear Bunda,
Dahulu sekitar tahun 1905, Alfred Binet membuat tes IQ hanya untuk mengukur kecerdasan seseorang dari 2 ranah yang masih sempit, yaitu kemampuan verbal dan matematis, kemudian merangkumnya dalam sebuah angka (angka IQ).
Anak yang pandai menggambar, menari, bersosialisasi, dan sebagainya masih belum terdeteksi bahwa mereka juga memiliki kecerdasan. Lalu kemudian, ilmu psikologi terus berkembang sehingga mulai muncul banyak teori kecerdasan yang mulai meninggalkan angka sebagai ukuran kecerdasan seseorang.
Tahun 1983, Howard Gardner muncul dengan teori multiple intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan seseorang sudah tidak lagi ditentukan oleh angka-angka IQ. Kecerdasan seseorang, termasuk Si Kecil ternyata bersumber dari kebiasaannya sendiri loh Bunda!
Selanjutnya Daniel Goleman pada tahun 1995 memunculkan teori kecerdasan emosi (emotional quotient atau EQ). Menurut Goleman, kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang dalam mengatur emosinya serta menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui pengendalian diri, motivasi diri, ketrampilan kesadaran diri, ketrampilan social, dan empati.
Di tahun yang sama, Paul Stoltz juga memunculkan teori kecerdasan adversity quotient, yaitu kecerdasan seseorang ditentukan dari kemampuannya dalam mengatasi kesulitan yang ia hadapi. Dapat dikatakan teori yang disampaikan oleh Stoltz tentang adversity quotient sama dengan teori emotional quotient dari Goleman, yaitu melihat kecerdasan seseorang dengan kecerdasan yang luas dan tidak menggunakan angka.
Kemudian tahun 2000, Ian Marshall dan Danah Zohar memunculkan teori kecerdasan yang baru, yaitu kecerdasan spiritual (spiritual intelligence), dimana seseorang mampu dan peka dalam menemukan makna di balik masalah dan kenyataan yang dihadapi.
Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan spiritual ini merupakan dimensi tertinggi dari kecerdasan manusia yang berdasarkan intuisi, persepsi, dan kesadaran. Oleh karena itu, bagi mereka yang telah menggunakan kecerdasan spiritualnya akan menjadi pribadi yang kreatif, intuitif, bisa menerima segalanya dengan apa adanya, dan hidupnya akan bahagia.
Sekarang, kami mengajak Bunda sebagai orangtua untuk memahami perjalanan dari definisi kecerdasan. Hal ini sangat penting agar kita bisa memperkirakan sosok sejati anak dan juga kecerdasannya.
Pertama, pada tahun 1905 ada Alfred Binet dengan tes IQ-nya. Hasilnya, kecerdasan seseorang dimaknai dengan angka mental atau nilai IQ seseorang. Setelah itu, muncul banyak teori kecerdasan yang cukup kontroversial. Pada 1983, Howard Gardner memunculkan teori multiple intelligences (kecerdasan majemuk) sebagai kritik terhadap validitas tes IQ sehingga bisa dikatakan multiple intelligences sudah meninggalkan angka.
Pada tahun 1995, ada 2 ahli yang memunculkan teori kecerdasan, yaitu Daniel Goleman (emotional quotient) dan Paul Stoltz (adversity quotient). Keduanya juga telah meninggalkan angka untuk mengukut kecerdasan seseorang. Dan terakhir tahun 2001, Ian Marshall dan Danah Zohar melengkapi teori kecerdasan dengan kecerdasan spiritual (spiritual intelligences), yang telah jauh meninggalkan angka. Malahan, mereka semua telah menilai manusia cerdas dengan hakikat untuk apa dia ada. Jadi nih para Bunda, anak kita itu cerdas! :)
Sumber: Chatib, M. 2014. Orangtuanya Manusia: Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai Fitrah Setiap Anak. Bandung: Kaifa.
Bunda, apa kabarmu hari ini? Aku harap Bunda selalu sehat dan bahagia. Aku tahu bahwa Bunda selalu menemani dan mendampingiku tanpa keluh kesah. Bunda, melihat wajah lelahmu ingin rasanya kusampaikan kata dalam hatiku. Sekarang, aku ingin berbicara denganmu. “Bunda, aku tidak tahu kapan engkau bangun. Namun, begitu aku beranjak dari tempat tidur sudah kulihat makanan terhidang di meja beserta bekal sekolahku”
SELENGKAPNYADear Bunda, Perkenalkan namaku Bunda Devi, Pada artikel sebelumnya, saya telah menjelaskan 9 jenis kecerdasan majemuk atau multiple intelligent menurut Howard Gardner, (Klik disini untuk membaca artikel 9 Jenis Kecerdasan), diantaranya cerdas alam (naturalis), cerdas gambar dan ruang (visual-spasial), cerdas gerak (kinestetik), cerdas eksistensial, cerdas matematis-logis (kognitif), cerdas bahasa (linguistic), cerdas musik (musikal), cerdas diri (intrapersonal), dan cerdas bergaul (interpersonal).
SELENGKAPNYAPemahaman tersebut memang bergantung pada sudut pandang mana Bunda memaknai arti kata bodoh ataupun cerdas. Kami menggunakan sudut pandang terbalik, seandainya Si Kecil memiliki hambatan dalam belajar, apa pun penyebabnya dan Si Kecil diberi label “bodoh”, maka kami akan mencari kondisi terbaik Si Kecil
SELENGKAPNYAMemperkenalkan Vitabumin, madu ikan gabus, persembahan terbaik PT. Aksamala Adi Andana untuk anak - anak Indonesia. Vitabumin diformulasikan khusus untuk membantu menjaga daya tahan tubuh Si Kecil demi tumbuh kembangnya secara optimal.
Inspirasi kami adalah cinta Bunda yang mengajarkan kami untuk terus mempersembahkan yang terbaik demi masa depan Si Kecil. Karenanya, Vitabumin kami persembahkan dengan sinergi kebaikan alam Indonesia.
Sebagai madu anak, Vitabumin diperkaya dengan ekstrak temulawak dan ekstrak ikan gabus. Perpaduan ketiganya menjadikan Vitabumin sebagai pendamping yang baik untuk tumbuh kembang si Kecil yang optimal.
BACA SELENGKAPNYA